Hikmah

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلىَ الجَنَّةِ

Barangsiapa melakukan perjalanan untuk mencari ilmu, maka Alloh mudahkan jalan baginya menuju surga.

RDS FM Solo

Browser tidak support

Minggu, 20 Februari 2011

Uang Muka Dalam Jual Beli


Salah satu sistem jual-beli yang kini berkembang, yaitu pemberlakuan uang panjar sebagai tanda pengikat kesepakatan. Istilah ini dikenal dengan DP (Down of Payment), atau Uang Muka. Biasa pula disebut dengan istilah "Tanda Jadi" atau “Panjar” dalam istilah Jawa. Bagaimanakah tinjauan syari'at terhadap sistem panjar ini? Selanjutnya disebut dengan uang muka.

Gambaran bentuk jual beli ini yaitu, sejumlah uang yang dibayarkan di muka oleh seorang pembeli barang kepada si penjual. Bila transaksi itu mereka lanjutkan, maka uang muka itu dimasukkan ke dalam harga pembayaran. Kalau tidak jadi, maka uang yang dibayarkan di muka menjadi milik si penjual.

Dalam permasalahan ini, terdapat perbedaan dikalangan para ulama, yakni pendapat mayoritas ulama di kalangan Hanafiyyah, Malikiyyah dan Syafi'iyyah yang berpendapat bahwa jual-beli dengan uang muka ini tidak sah. Al Khathabi mengatakan, ‘Malik, Syafi'i menyatakan ketidaksahannya, karena terdapat syarat fasad (rusak) dan gharar (spekulasi), dan termasuk dalam kategori memakan harta orang lain dengan cara bathil. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam Asy Syaukani. Beliau mengatakan, “Ada illat (sebab hukum) larangan ini ialah, jual-beli seperti ini mengandung dua syarat yang fasid. Pertama, syarat menyerahkan kepada penjual harta (uang muka) secara gratis apabila pembeli batal membelinya. Kedua, syarat mengembalikan barang kepada penjual apabila si pembeli tidak ada keinginan untuk membelinya.

Namun madzhab Hanbali membolehkan jual beli dengan uang muka ini. Seperti Imam Ahmad yang melemahkan hadits larangan jual beli ini.

Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, mengatakan, ‘Tidak mengapa mengambil DP (uang muka) tersebut, menurut pendapat yang rajih dari dua pendapat ulama. Apabila penjual dan pembeli telah sepakat untuk itu dan jual belinya tidak dilanjutkan (tidak disempurnakan).’

Jual beli dengan uang muka ('urbuun) ini sah, baik telah menentukan batas waktu pembayaran sisanya atau belum menentukannya. Dan secara syar’i, penjual memiliki hak menagih pembeli untuk melunasi pembayaran setelah sempurna jual beli dan terjadi serah terima barang. Dibolehkannya jual beli 'urbuun ini ditunjukkan oleh perbuatan Umar bin Al Khathab. Imam Ahmad menyatakan tentang jual beli seperti ini boleh. dan dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhuma juga membolehkannya. Sa'id bin Al Musayyib dan Muhammad bin Sirin mengatakan: “Diperbolehkan bila ia tidak ingin, untuk mengembalikan barangnya dan mengembalikan bersamanya sejumlah harta.”.


Sedangkan hadits yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berbunyi, “(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli dengan uang muka), ini merupakan hadits yang lemah (dhaif), Imam Ahmad dan selainnya telah mendhaifkannya, sehingga (hadits ini) tidak bisa dijadikan sandaran.

Berikut ini ketetapan-ketetapan yang telah disepakati. Pertama, yang dimaksud dengan jual beli dengan uang muka adalah, menjual barang, lalu si pembeli memberi sejumlah uang kepada si penjual dengan syarat bila pembeli jadi mengambil barang tersebut, maka uang muka tersebut masuk dalam harga yang harus dibayar. Namun kalau si pembeli tidak jadi jadi membelinya, maka sejumlah uang (muka yang dibayarkan) tersebut menjadi milik penjual. Transaksi ini selain berlaku untuk jual beli juga berlaku untuk sewa menyewa, karena menyewa berarti membeli fasilitas.

Di antara jual beli yang tidak diperbolehkan dengan sistem uang muka adalah jual beli yang memiliki syarat harus ada serah terima pembayaran atau barang transaksi di lokasi akad (jual beli as-salm) atau serah terima keduanya (barter komoditi riba fadhal dan Money Changer). Dan dalam transaksi jual beli murabahah tidak berlaku bagi orang yang mengharuskan pembayaran pada waktu yang dijanjikan, namun hanya pada fase penjualan kedua yang dijanjikan.

Kedua: Jual beli dengan uang muka dibolehkan bila waktu menunggunya dibatasi secara pasti, Uang muka tersebut dimasukkan sebagai bagian pembayaran, bila sudah dibayar lunas.
Dan menjadi milik penjual bila si pembeli tidak jadi melakukan transaksi pembelian.

Namun perlu diingat bila penjual mengembalikan uang muka tersebut kepada pembeli ketika gagal menyempurnakan jual belinya, maka itu lebih baik dan lebih besar pahalanya disisi Allah sebagaimana Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda. “Barangsiapa yang berbuat iqaalah dalam jual belinya kepada seorang muslim maka Allah akan bebaskan ia dari kesalahan dan dosanya” (HR.
Abu Dawud)

Iqalah dalam jual beli dapat digambarkan, seseorang membeli sesuatu dari seorang penjual, kemudian pembeli ini menyesal membelinya. Karena mengetahui sangat rugi atau sudah tidak membutuhkan lagi, atau tidak mampu melunasinya, lalu pembeli itu mengembalikan barangnya kepada penjual dan si penjual menerimanya kembali (tanpa mengambil sesuatu dari pembeli).

Demikian permasalahan jual beli dengan pemberian uang muka, mudah-mudahan bermanfaat.
Wallahu a’lam


Ustadz Abu Ashma Kholid Syamhudi


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun X/1428H/2007]

Berbagi dan Menikmati Rezeki